PEMAHAMAN terhadap Undang
Undang No 28/2014 tentang Hak Cipta dinilai masih rendah. Padahal dalam
aturan itu, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi terkait
karya-karya terkait dengan hak cipta. UU ini belum dipatuhi oleh seluruh
masyarakat. Hal ini karena belum dipahami kerugian-kerugian atas
pelanggaran terhadap peraturan undang-undang tersebut.
Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R) Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.
“Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ” kata Yusak.
Pemberlakuan UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dilengkapi peraturan perundangan lain, melahirkan lembaga, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).
Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual.
“Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.
Namun, yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha agar berbagai peraturan dan perundangan bisa paham dan dilaksanakan dengan baik.
“Sosialisasi jadi penting, seiring pemberlakuan UUHC agar dipahami masyarakat dan pelaku usaha, juga mereka tahu di mana dan kemana mengurus perizinan, membayar pajak, serta melaksanakan berbagai kewajiban lainnya,” ujarnya.
http://mediaindonesia.com/news/read/70796/pemahaman-uu-hak-cipta-masih-rendah/2016-10-07
Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R) Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.
“Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ” kata Yusak.
Pemberlakuan UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dilengkapi peraturan perundangan lain, melahirkan lembaga, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).
Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual.
“Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.
Namun, yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha agar berbagai peraturan dan perundangan bisa paham dan dilaksanakan dengan baik.
“Sosialisasi jadi penting, seiring pemberlakuan UUHC agar dipahami masyarakat dan pelaku usaha, juga mereka tahu di mana dan kemana mengurus perizinan, membayar pajak, serta melaksanakan berbagai kewajiban lainnya,” ujarnya.
http://mediaindonesia.com/news/read/70796/pemahaman-uu-hak-cipta-masih-rendah/2016-10-07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar