Senin, 31 Oktober 2016

Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta


2. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta
a. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Dunia Internasional
Sejarah konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh dengan jelas sejak diketemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa. Kebutuhan di bidang hak cipta timbul karena dengan mesin cetak, karya-karya cipta dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Hal inilah yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan hukum tersebut memperoleh kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati perlindungan hanyalah pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta karya cipta itu sendiri (authors) praktis tidak memperoleh perlindungan hukum yang semestinya[6]. Para filsuf Eropa yang mengkritik hal tersebut berargumentasi bahwa karya-karya cipta pada dasarnya merupakan refleksi pribadi atau alter ego dari penciptanya. Kemudian tumbuhlah konsep baru yaitu authors right yang menggantikan copyright[7].
Faktor sosial juga mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Pada tahun 1690, John Locke mengutarakan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (natural right) atas karya ciptaannya. Pandangan ini pada hakekatnya didahului dengan adanya gerakan renaissance yang menjunjung tinggi kemampuan manusia sebagai pribadi yang mandiri, yang ingin membebaskan diri dari kungkungan raja dan gereja[8].
Perlindungan yang diberikan kepada hasil ciptaan dan penciptanya, bukan saja sekedar sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap hasil karya cipta seseorang di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, tetapi juga diharapkan akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi penciptanya maupun orang lain yang memerlukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai terrhadap hasil ciptaan dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra[9]. 
Berkembangnya sudut pandang yang menganggap perlu adanya bentuk perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) memacu dilakukannya perundingan internasional yang membahas tentang perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini membuktikan bahwa permasalahan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) bukan lagi menjadi urusan suatu negara saja, akan tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), dengan dibentuknya World Trade Organization maka perlindungan terhadap HaKI semakin ketat dan penegakan hukumnya dapat dilaksanakan melalui suatu badan yang bernaung dibawah payung WTO yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body).
Upaya perlindungan hukum terhadap HaKI dapat dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin, untuk itu diperlukan suatu kerjasama antara negara-negara anggota WTO yang bersifat regional maupun internasional. Atas dasar pemikiran ini maka negara-negara yang berada dikawasan Asia Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang terdiri dari para ahli dibidang HaKI, forum ini bertujuan agar upaya perlindungan hukum terhadap HaKI sesuai dengan standar perlindungan yang ditetapkan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
b. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di IndonesiA
Secara yuridis formal, Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku sejak tanggal 23 September 1912. Meskipun pada waktu itu Indonesia telah memberlakukan Auteurswet 1912, untuk kepentingan pendidikan dibolehkan menyimpang dari aturan-aturan Auteurswet 1912 tersebut. Hal ini tampak dari adanya buku-buku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara Eropa, tanpa meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya. Penerbit Balai Pustaka merupakan suatu badan usaha milik negara. Penerjemahan yang dilakukan penerbit Balai Pustaka dilakukan dengan maksud baik, yaitu untuk memperkaya khasanah pustaka bagi bangsa Indonesia yang belum memiliki jumlah yang memadai.
Menurut Auteurswet 1912, penerjemahan tanpa izin dari penciptanya merupakan pelanggaran. Bahkan, penerjemahan dilakukan dari buku-buku yang sudah menjadi milik umum (public domain), penyebutan nama pencipta dan judul aslinya harus tetap dilakukan, mengingat masih adanya hak-hak moral (moral rights) yang melekat pada ciptaan-ciptaan yang bersangkutan[10].
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal I Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini[11].
Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1950. Upaya perlindungan ini dimulai sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Paris, yaitu perjanjian internasional dibidang hak kekayaan industri, Indonesia kemudian bergabung dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang merupakan salah satu rangkaian terakhir perundingan perdagangan multilateral.
Perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang mencakup aturan-aturan perdagangan dan pembentukan WTO, yang merupakan sebuah lembaga formal untuk administrasi dan perundingan lebih lanjut dari aturan-aturan yang telah dihasilkan. Selanjutnya Indonesia juga ikut menjadi negara peserta dalam organisasi HaKI dunia atau lebih dikenal dengan World Intellectual Property Organization (WIPO). Ketika WIPO mengadakan perundingan mengenai perjanjian internasional dalam bidang hak cipta dalam lingkungan digital, atau dikenal sebagai perjanjian internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyrights Treaty/WTC), Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi perjanjian tersebut. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI dapat dilihat pula dari penyusunan berbagai perundang-undangan dibidang HaKI.
Komitmen Indonesia terhadap mekanisme regional maupun internasional yang berkaitan dengan HaKI meliputi[12]:
1) Keanggotaan aktif di WTO, diperkuat oleh ratifikasi konvensi pembentukan WIPO pada tahun 1979;
2) Kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat mendasar mengenai hukum HaKI secara substansif yang dikelola oleh WIPO khususnya Paris Convention tentang perlindungan kekayaan industri (Konvensi Paris disahkan pertama kali pada tahun 1883). Perubahan terakhir dilakukan melalui Stockholm Act tanggal 16 Juli 1967. Indonesia menjadi pihak dalam Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Konvensi Bern memberikan perlindungan terhadap karya-karya artistik, Konvensi Bern disahkan pertama kali pada tahun 1886, perubahan terakhir dilakukan melalui Paris Act tanggal 24 Juli 1971. Indonesia menjadi pihak dalam Paris Act sejak 5 September 1997 dan Traktat Hak Cipta WIPO (WTC) Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi WTC tanggal 5 September 1997;
3) Kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diselenggarakan oleh WIPO yang bersifat teknis dan administratif, meliputi:
  • Traktat Kerjasama Paten (PTC) diratifikasi pada tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Merek (TLT) diratifikasi tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Paten (Indonesia mengambil bagian dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi naskah traktat ini tanggal 1 Juni 2000
  • Perjanjian Den Haag tentang Penyimpanan Desain Industri Secara Internasional (Indonesia telah meratifikasi London Act 1934 tanggal 24 Desember 1950, tetapi belum meratifikasi perubahannya);
4) Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia kerja mengenai berbagai aspek hukum HaKI internasional, dan konsultasi mengenai isu-isu yang baru muncul, misalnya perdagangan elektronik, pengetahuan tradisional dan perlindungan database, dan di dalam kegiatan-kegiatan kerjasama WIPO secara teknis baik ditingkat nasional, regional maupun internasional;
5) Keikutsertaan dalam kegiatan kerjasama regional, misalnya:
  • Perjanjian kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama dibidang HaKI, yang diputuskan di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995
  • Kelompok Ahli Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik tentang HaKI (IPEG)
  • Deklarasi politik yang dibuat bersama misalnya Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995.
  • Pernyataan bersama APEC mengenai pelaksanaan WTO/Perjanjian TRIPs, yang dikeluarkan di Darwin pada tanggal 6-7 Juni 2000.
6) Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan terkait dengan sistem HaKI, misalnya:
  • Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1994.
  • Deklarasi HAM se-Dunia (Pasal 27 ayat 7 Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak terhadap perlindungan secara moral dan material atas karya-karya baik keilmuan, sastra, maupun sastra yang diciptakan).
http://pengertiandanartikel.blogspot.co.id/2016/10/sejarah-pengaturan-hukum-hak-cipta.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar