Minggu, 23 Oktober 2016

Hak Cipta Bagian Kekayaan Intelektual

Pada beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan kejahatan properti berupa tindak perampasan barang-barang material secara tidak sah atau yang dikenal sebagai kekayaan intelektual.

"Kekayaan intelektual mengacu pada properti, yaitu mengambil bentuk ide, ekspresi, tanda-tanda, simbol, desain, serta logo. Pada hak kekayaan intelektual memberikan sang pemilik melakukan pengendalian secara eksklusif atas penggunaan ide-ide dan ekspresinya," ujar Direktur Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, M. Fadil Imran, dalam acara Sosialisasi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Jakarta, Kamis (6/10).

Dia menjelaskan penggunaan tidak sah hasil kekayaan intelektual didefinisikan sebagai kejahatan yang diatur dan disanksi berdasarkan hukum pidana. Kejahatan tersebut berupa menyalin dan distribusi materi berhak cipta, seperti rekaman musik, perangkat lunak komputer dan film yang dikenal sebagai pembajakan (piracy).

"Penggunaan merek, logo dan simbol dalam barang palsu, mulai dari kosmetik, parfum untuk pakaian, aksesoris pribadi, termasuk penggunaan dari rumus, pengetahuan teknis dan proses produksi yang dilindungi hak paten," tandasnya.

Dasar penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta; Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014; Kepmenkumham Nomor HKI.20-T.03.01-04 Tahun 2015; Kepmenkumham Nomor M.HH-01.HI.01.08 Tahun 2015; serta Kepmenkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-01 Tahun 2016.

Berbekal seperangkat peraturan dan UU tersebut, katanya, sudah cukup bagi jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak kekayaan intelektual.

"Kerugian akibat belum dipahami dan tegak hukum UUHC dipastikan merugikan banyak pihak, termasuk penerima royalty maupun pendapatan negara melalui sektor pajak," tukasnya.

Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R), Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.

"Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak," kata Yusak.

Pemberlakuan UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dilengkapi peraturan perundangan lain, melahirkan lembaga seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).

Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual.

Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.

Namun, yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha agar berbagai peraturan dan perundangan bisa paham dan dilaksanakan dengan baik.

"Sosialisasi jadi penting, seiring pemberlakuan  UUHC agar dipahami masyarakat dan pelaku usaha, juga mereka tahu di mana dan kemana mengurus perizinan, membayar pajak, serta melaksanakan berbagai kewajiban lainnya," tukasnya.
 
http://hukum.rmol.co/read/2016/10/07/263538/Hak-Cipta-Bagian-Kekayaan-Intelektual-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar