Pada beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan kejahatan properti
dalam bentuk lain atau yang dikenal sebagai kekayaan intelektual.
Penggunaan tidak sah hasil kekayaan intelektual didefinisikan sebagai
kejahatan yang diatur dan disanksi berdasarkan hukum pidana. Kejahatan
tersebut berupa menyalin dan distribusi materi berhak cipta, seperti
rekaman musik, perangkat lunak komputer dan film yang dikenal sebagai
pembajakan (piracy).
“Kekayaan intelektual mengacu pada properti, yaitu mengambil bentuk
ide, ekspresi, tanda-tanda, simbol, desain, serta logo, ” ujar Direktur
Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, M Fadil Imran, dalam acara
Sosialisasi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Jakarta, Kamis
(6/10).
Pada pelaksanaan UU no 28 tahun 2014 tentang hak cipta, Indonesia
telah meratifikasi beberapa konvensi terkait karya-karya terkait dengan
hak cipta. UU ini belum dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal ini karena
belum dipahami kerugian-kerugian atas pelanggaran terhadap peraturan
undang-undang tersebut.
Dasar penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual, yaitu UU Hak
Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta; Permenkumham No. 29
Tahun 2014; Kepmenkumham No. HKI.20-T.03.01-04 Tahun 2015; Kepmenkumham
No. M.HH-01.HI.01.08 Tahun 2015; serta Kepmenkumham No.
HKI.2.OT.03.01-01 Tahun 2016. “Berbekal seperangkat peraturan dan UU
tersebut, sudah cukup bagi jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum
atas pelanggaran hak kekayaan intelektual," ujarnya.
Belum dipahaminya dan ditegakannya aturan UUHC dipastikan akan
membuat terjadinya pelanggaran hukum yang merugikan para penerima
royalti dan pendapatan negara melalui sektor pajak. “Kerugian akibat
belum dipahami dan tegak hukum UUHC dipastikan merugikan banyak pihak,
termasuk penerima royalti maupun pendapatan negara melalui sektor pajak,
” katanya.
Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R),
Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta
atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak
bergairah meningkatkan hasil karyanya.
“Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan.
Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha.
Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan
rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ”
kata Yusak.
Pemberlakuan UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya
dilengkapi peraturan perundangan lain yang melahirkan lembaga seperti
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif
(LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti
(KP3R).
Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan
secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta
sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual. “Persoalan ini
mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa
menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,”
katanya.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/10/06/oemgf9291-undang-undang-hak-cipta-kurang-tersosialisasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar