Beberapa waktu lalu, masyarakat di Indonesia dikejutkan dengan sejumlah kasus sengketa merek dagang dengan "brand" ternama.
Yang
paling anyar, pengusaha lokal Alexander Satryo Wibowo, pemilik PT
Gudang Rejeki, memenangkan sengketa merek desainer Perancis, Pierre
Cardin, pada pekan lalu.
Menurut Mahkamah Agung (MA), Alexander
diketahui mendaftarkan merek Pierre Cardin sejak 29 Juli 1977. Sementara
pada saat mendaftarkan merek tersebut, Pierre Cardin dari Perancis
tidak pernah terdaftar dan dikenal, sehingga pada dasarnya pendaftaran
tersebut tidak diterima. (Baca: Mereknya Digunakan, Pierre Cardin Gugat Pengusaha Indonesia)
Sengketa
lain yakni di merek minuman kesehatan Cap Kaki Tiga. MA mengabulkan
gugatan warga negara Inggris, Russel Vince, atas seluruh sertifikat
merek tersebut milik Wen Ken Drug. Sebab, logo minuman ini mirip dengan
lambang negara Isle of Man.
Dengan demikian, Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM mencoret merek Cap Kaki
Tiga ini sejak 2 September 2016. (Baca: Digugat Warga Negara Inggris, Produk Cap Kaki Tiga Terancam Ditarik dari Pasaran)
Kasus
lain yang juga menyita perhatian masyarakat adalah sengketa merek IKEA,
yang terdaftar atas nama Inter IKEA System BV. Sengketa ini diajukan
oleh PT Ratania Khatulistiwa ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Tapi pada Mei 2015 lalu, MA memenangkan PT Ratania
dan perusahaan lokal ini berhak menggunakan merek IKEA. Ratania
memenangkan kasus ini, baik di tingkat pertama maupun kasasi. (Baca: Merek IKEA Milik Indonesia)
Kasus IKEA
Linna
Simamora, Partner di firma hukum Hanafiah Ponggawa & Partners
(HPRP), menilai kasus sengketa merek ini menarik. Untuk lebih jelasnya,
dia menilik pada kasus sengketa IKEA.
Menurut dia, kasus sengketa merek IKEA ini menambah keragu-raguan akan kepastian keadilan bagi pemilik merek terkenal.
"Adanya
dissenting opinion membuktikan adanya ketidakseragaman dalam
interpretasi ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan," kata dia,
melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com.
Kronologi kasus
ini, pada 25 Januari 2005, Inter IKEA System BV telah mendaftarkan merek
“IKEA” di Kementerian Hukum dan HAM untuk kelas 20 dan 21. Pada 9
Oktober 2006 dan 27 Oktober 2006, Direktorat Jenderal HKI mengeluarkan
sertifikat atas merek IKEA tersebut masing-masing untuk kelas 20 dan 21.
Pada 28 Maret 2010, Inter IKEA System BV kembali mengajukan pemohonan pendaftaran merek IKEA (dengan desain yang berbeda).
Pada
2013, PT Ratania Khatulistiwa mengajukan permohonan pendaftaran untuk
merek IKEA untuk kelas 20 dan 21. Pengajuan ini ditolak oleh Ditjen HKI
dengan alasan mempunyai persamaan dengan merek IKEA yang telah terdaftar
atas nama Inter IKEA System BV.
Pada tahun yang sama, PT
Ratania kemudian mengajukan gugatan penghapusan merek IKEA pada
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasannya, merek
IKEA tersebut tidak dipakai dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut.
Dasarnya yakni pasal 61 dan 63 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001
tentang Merek.
Nah, dalam kasus IKEA ini, terdapat sejumlah hal
menarik. Pertama, PT Ratania mengajukan bukti berupa market survei yang
dilakukan oleh Berlian Group Indonesia di lima kota di Indonesia.
Yaitu
di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Gunanya, untuk
membuktikan bahwa merek IKEA tersebut tidak dipakai oleh Inter IKEA
System BV selama tiga tahun berturut-turut sejak pendaftarannya, yaitu
masing-masing di 2006 dan 2010.
Kedua, majelis hakim Pengadilan
Niaga di pemeriksaan tingkat pertama mendasarkan putusannya pada hasil
survei tersebut. Padahal, Inter IKEA System B.V telah mengajukan
bukti-bukti pemakaian merek IKEA pada kegiatan produksi dan perdagangan
mereka.
Ketiga, majelis hakim mengartikan kata barang atau jasa
yang diperdagangkan dalam pasal 61 UU Merek tersebut dengan kegiatan
penjualan secara fisik saja.
Padahal, kenyataan bahwa di pasal
61 ayat 2 UU Merek juga memungkinan interpretasi akan arti barang dan
jasa yang diperdagangkan, dimungkinkan untuk diperperdagangan tanpa
melalui toko secara fisik, sesuai dengan kemajuan teknologi.
"Hal
ini sangat disayangkan mengingat IKEA dapat dikategorikan sebagai merek
terkenal yang sudah bertahun-tahun menggunakan merek tersebut,
sedangkan PT Ratania sendiri baru menggunakan merek IKEA tersebut pada
2013," lanjut Linna.
Menurut dia, fakta ini seharusnya
mendorong para hakim untuk mempertimbangkan lebih jauh lagi fakta-fakta
yang ada sebelum memutuskan untuk mengkabulkan gugatan dari PT Ratania.
Linna
menilai, kenyataan-kenyataan tersebut cukup menimbulkan tanda tanya
besar akan pemahaman para penegak hukum di Indonesia akan arti
pentingnya tujuan perlindungan yang diberikan oleh UU Merek yang ada,
Juga, menjadi tanda tanya besar akan arti penting pengusaha mendapat
kepastian untuk memperoleh perlindungan tersebut.
"Sangat
disayangkan apabila yang ditekankan oleh UU Merek adalah perlindungan,
tapi pada kenyataannya untuk kasus-kasus penghapusan pendaftaran merek
seperti ini, hakim terkesan kurang pertimbangan dalam memutuskan,"
pungkas dia.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/14/192158026/di.indonesia.kasus.sengketa.merek.dagang.menimbulkan.tanda.tanya.besar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar