Selasa, 20 September 2016

Di Indonesia, Kasus Sengketa Merek Dagang Menimbulkan Tanda Tanya Besar

Beberapa waktu lalu, masyarakat di Indonesia dikejutkan dengan sejumlah kasus sengketa merek dagang dengan "brand" ternama.

Yang paling anyar, pengusaha lokal Alexander Satryo Wibowo, pemilik PT Gudang Rejeki, memenangkan sengketa merek desainer Perancis, Pierre Cardin, pada pekan lalu.

Menurut Mahkamah Agung (MA), Alexander diketahui mendaftarkan merek Pierre Cardin sejak 29 Juli 1977. Sementara pada saat mendaftarkan merek tersebut, Pierre Cardin dari Perancis tidak pernah terdaftar dan dikenal, sehingga pada dasarnya pendaftaran tersebut tidak diterima. (Baca: Mereknya Digunakan, Pierre Cardin Gugat Pengusaha Indonesia)

Sengketa lain yakni di merek minuman kesehatan Cap Kaki Tiga. MA mengabulkan gugatan warga negara Inggris, Russel Vince, atas seluruh sertifikat merek tersebut milik Wen Ken Drug. Sebab, logo minuman ini mirip dengan lambang negara Isle of Man.

Dengan demikian, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM mencoret merek Cap Kaki Tiga ini sejak 2 September 2016.  (Baca: Digugat Warga Negara Inggris, Produk Cap Kaki Tiga Terancam Ditarik dari Pasaran)

Kasus lain yang juga menyita perhatian masyarakat adalah sengketa merek IKEA, yang terdaftar atas nama Inter IKEA System BV. Sengketa ini diajukan oleh PT Ratania Khatulistiwa ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tapi pada Mei 2015 lalu, MA memenangkan PT Ratania dan perusahaan lokal ini berhak menggunakan merek IKEA. Ratania memenangkan kasus ini, baik di tingkat pertama maupun kasasi.  (Baca: Merek IKEA Milik Indonesia)

Kasus IKEA

Linna Simamora, Partner di firma hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), menilai kasus sengketa merek ini menarik. Untuk lebih jelasnya, dia menilik pada kasus sengketa IKEA.

Menurut dia, kasus sengketa merek IKEA ini menambah keragu-raguan akan kepastian keadilan bagi pemilik merek terkenal.

"Adanya dissenting opinion membuktikan adanya ketidakseragaman dalam interpretasi ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan," kata dia, melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com.

Kronologi kasus ini, pada 25 Januari 2005, Inter IKEA System BV telah mendaftarkan merek “IKEA” di Kementerian Hukum dan HAM untuk kelas 20 dan 21. Pada 9 Oktober 2006 dan 27 Oktober 2006, Direktorat Jenderal HKI mengeluarkan sertifikat atas merek IKEA tersebut masing-masing untuk kelas 20 dan 21.

Pada 28 Maret 2010, Inter IKEA System BV kembali mengajukan pemohonan pendaftaran merek IKEA (dengan desain yang berbeda).

Pada 2013, PT Ratania Khatulistiwa mengajukan permohonan pendaftaran untuk merek IKEA untuk kelas 20 dan 21. Pengajuan ini ditolak oleh Ditjen HKI dengan alasan mempunyai persamaan dengan merek IKEA yang telah terdaftar atas nama Inter IKEA System BV.

Pada tahun yang sama, PT Ratania kemudian mengajukan gugatan penghapusan merek IKEA pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasannya, merek IKEA tersebut tidak dipakai dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut. Dasarnya yakni pasal 61 dan 63 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.

Nah, dalam kasus IKEA ini, terdapat sejumlah hal menarik. Pertama, PT Ratania mengajukan bukti berupa market survei yang dilakukan oleh Berlian Group Indonesia di lima kota di Indonesia.

Yaitu di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Gunanya, untuk membuktikan bahwa merek IKEA tersebut tidak dipakai oleh Inter IKEA System BV selama tiga tahun berturut-turut sejak pendaftarannya, yaitu masing-masing di 2006 dan 2010.

Kedua, majelis hakim Pengadilan Niaga di pemeriksaan tingkat pertama mendasarkan putusannya pada hasil survei tersebut. Padahal, Inter IKEA System B.V telah mengajukan bukti-bukti pemakaian merek IKEA pada kegiatan produksi dan perdagangan mereka.

Ketiga, majelis hakim mengartikan kata barang atau jasa yang diperdagangkan dalam pasal 61 UU Merek tersebut dengan kegiatan penjualan secara fisik saja.

Padahal, kenyataan bahwa di pasal 61 ayat 2 UU Merek juga memungkinan interpretasi akan arti barang dan jasa yang diperdagangkan, dimungkinkan untuk diperperdagangan tanpa melalui toko secara fisik, sesuai dengan kemajuan teknologi.

"Hal ini sangat disayangkan mengingat IKEA dapat dikategorikan sebagai merek terkenal yang sudah bertahun-tahun menggunakan merek tersebut, sedangkan PT Ratania sendiri baru menggunakan merek IKEA tersebut pada 2013," lanjut Linna.

Menurut dia, fakta ini seharusnya mendorong para hakim untuk mempertimbangkan lebih jauh lagi fakta-fakta yang ada sebelum memutuskan untuk mengkabulkan gugatan dari PT Ratania.

Linna menilai, kenyataan-kenyataan tersebut cukup menimbulkan tanda tanya besar akan pemahaman para penegak hukum di Indonesia akan arti pentingnya tujuan perlindungan yang diberikan oleh UU Merek yang ada, Juga, menjadi tanda tanya besar akan arti penting pengusaha mendapat kepastian untuk memperoleh perlindungan tersebut.

"Sangat disayangkan apabila yang ditekankan oleh UU Merek adalah perlindungan, tapi pada kenyataannya untuk kasus-kasus penghapusan pendaftaran merek seperti ini, hakim terkesan kurang pertimbangan dalam memutuskan," pungkas dia.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/14/192158026/di.indonesia.kasus.sengketa.merek.dagang.menimbulkan.tanda.tanya.besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar