Masih terus menjaring masukan dari berbagai pihak termasuk asosiasi
pengguna hak ciptaan itu sendiri. Targetnya, akhir tahun 2016 ini aturan
itu akan rampung.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tengah mempersiapkan aturan
terkait sistem pendistribusian royalti untuk pemegang hak cipta. Hingga
saat ini, LMKN masih terus melakukan pembahasan dan meminta masukan dari
sejumlah kalangan. Targetnya, paling lambat akhir tahun 2016 ini aturan
tersebut sudah bisa diterbitkan.
“Ini untuk para pemegang hak cipta, produser, dan hak terkait,” ujar
salah seorang Komisoner LMKN, Adi Adrian dalam diskusi panel bertajuk “
Penerapan Regulasi Mengenai Royalti dalam Industri Musik di Indonesia” yang digelar dalam rangkaian ajang
Liga Debat Hukum Online Nasional (LDHON) 2016 di Jakarta, Kamis (25/11).
Dikatakan Adi, tujuan disusun ketentuan sistem pendistribusian royalti
ini adalah untuk memberikan kepastian kepada para pemegang hak bahwa
mereka akan menerima royalti dari pengguna hak atas pemakaian hasil
ciptaan mereka untuk kepentingan komersial. Sejauh ini, progres
penyusunan sistem pendistribusian masih terus digodok dalam rangka
mencari format terbaik untuk sistem pendistribusian royalti.
LMKN sendiri, lanjut Adi, menjalin kerja sama dengan sejumlah Lembaga
Manajemen Kolektif (LMK) yang sudah memiliki izin operasional untuk
membahas aturan tersebut. Selain itu, LMKN juga meminta masukan dari
sejumlah pihak terutama dari asosiasi yang menaungi para pengguna,
misalnya Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (Aperki)
atau Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI).
“Perjalanan masih panjang, ini sudah berada di trek yang benar. Yang
penting, meyakinkan pengguna bahwa mereka harus membayar royalti,” sebut
personel Kla Project itu.
Di tempat yang sama, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ari Juliano Gema
mengatakan, bahwa pihaknya terus membantu LMKN untuk mensosialisasikan
kepada pengguna hak, dalam hal ini pengguna musik, kafe, hotel, rumah
bernyanyi (karaoke), radio hingga televisi. Beberapa daerah telah
dikunjungi mulai dari Medan, Ambon, Kupang, Bandung, serta Makasar.
“LMK dan LMKN ini adalah suatu bentuk badan baru dari UU Hak Cipta (
UU Nomor 28 Tahun 2015
tentang Hak Cipta). Oleh karena itu, LMKN yang punya kewenangan sebagai
regulator di bidang royalti ini harus kita bantu sosialisasi. Apalagi
mereka sudah mengeluarkan beberapa regulasi,” ujar pria yang disapa Ajo
ini.
Regulasi yang dimaksud oleh Ajo adalah terkait sejumlah Keptusan LMKN
mengenai materi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada
sejumlah hal. Saat terbentuk tahun 2015, LMKN sudah membuat produk
berupa Keputusan LMKN mengenai materi muatan Keputusan Menteri Hukum dan
HAM tentang Statuta LMKN.
Masih di tahun yang sama, LMKN juga berhasil membuat Kode etik LMKN
Pencipta dan Hak Terkait di bidang musik, termasuk kode etik pencipta,
produser rekaman dan pelaku pertunjukan. Lalu, soal pentarifan royalti
rumah bernyanyi, dan petunjuk pelaksanaan penarikan, penghimpunan, dan
pendistribusian royalti rumah bernyanyi.
“LMKN itu adalah sebagai lembaga-lembaga yang punya anggota dan
memungut royalti kepada anggota berdasarkan regulasi yang dibuat LMKN.
Musisi yang berhak mendapat royalti adalah musisi yang mendaftar kepada
LMK. Jadi dia harus aktif, kalau ada keluhan di daerah, kenapa sih lagu
saya sering diputar di daerah tapi ngga pernah dapat royalti,
pertanyaannya dia menjadi anggota LMK atau tidak? Itulah pentingnya,”
papar Ajo.
Sementara itu, tahun 2016 ini, LMKN telah membuat produk antara lain
Keputusan LMKN mengenai Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan
Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu, termasuk
Penyempurnaan dan Perpanjangan Waktu Berlaku Tarif Royalti Karaoke
Berdasarkan Peraturan Pelaksana Tahun 2015 yang telah habis masa berlaku
atas Rumah Bernyanyi (Karaoke).
Selain itu, LMKN juga membuat pengesahan petunjuk pelaksaan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti musik dan lagu yang berlaku
umum. Masih di tahun yang sama, LMKN juga menerbitkan tarif royalti
untuk lagu dan musik pada 13 sektor, antara lain, rumah bernyanyi
(karaoke); seminar dan konferensi komersial; restoran, kafe, pub, bar,
bistro, klab malam, diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta
api, kapal laut; pameran dan bazar; bioskop; nada tunggu telepon, bank,
kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga
penyiaran radio; dan hotel dan fasilitas hotel.
“Sebenarnya dalam setahun itu, minimal dapat Rp10 miliar sampai Rp100
miliar. Itu hitung-hitungan kasar. Itu belum menjangkau konser-konser,
itu baru dari karaoke sudah jelas, dan tv atau radio yang juga sudah
jelas. Tapi kalau menjangkau semua, itu lebih dari Rp100 miliar. Dengan
sistem yang baik ini, semoga royalti bisa lebih besar lagi,” sebut Ajo.
Dikatakan Ajo, terkait dengan royalti ini sendiri masih ada sedikit
perbedaan persepsi antara pemerintah dalam hal ini LMKN dengan industri.
Ambil contoh misalnya dengan industri radio dan televisi sempat
menghadapi perbedaan persepsi mengenai pemungutan royalti atas
penggunaan hak untuk industri tersebut. Dalam kondisi seperti itu,
Bekraf berperan sebagai ‘jembatan’ yang mencoba mengakomodir kepentingan
pemerintah dan industri. Di sini cukup dilematis buat Bekraf lantaran
di satu sisi Bekraf punya kepentingan meningkatkan kualitas musisi dari
royalti akan tetapi di sisi lain Bekraf juga punya kepentingan membantu
industri televisi dan radio untuk terus berkembang.
“Diharapkan regulasi yang dikeluarkan LMKN itu memang bisa diterima oleh semua pihak,” kata Ajo.
Sebagai salah satu industri pengguna hak cipta, Wakil Ketua Umum PHRI,
Reiner Daulay mengakui bahwa awalnya anggota PHRI mayoritas merasa
aturan royalti sangat merepotkan buat mereka. Asumsinya kira-kira hampir
90% anggota tidak mau membayar pungutan tersebut. Alasanya beragam,
salah satunya lantaran anggota PHRI sangsi kepastian hukum setelah
membayar kewajiban itu. Mereka khawatir masih akan diminta bayaran
berkali-kali meski telah membayar. “Niat utama kami dukung sepanjang ada
kepastian hukum,” ujarnya.
Akhirnya, PHRI dan LMKN membuat nota kesepamahan beberapa waktu lalu
yang pada intinya bentuk komitmen dari sekitar 1.500 hotel dan restoran
anggota PHRI untuk membayar royalti. Selain komitmen, MoU tersebut juga
mengatur kesepakatan klasifikasi kelas hotel mulai dari hotel bintang
dan non bintang berkenaan dengan tarif yang wajib mereka bayarkan.
“Itu sudah kita sebar ke semua anggota se-Indonesia. Bahkan kita juga
imbau juga ke hotel yang bukan anggota PHRI,” kata Reiner.
Konsultan Kekayaan Intelektual yang juga musisi, Theresia Ebenna Ezria
tak menampik bahwa masih banyak musisi pencipta lagu yang awam dengan
konsep mengenai hak cipta. Kenyataan di lapangan, para musisi yang
tengah masuk pada masa kejayaan biasanya terlalu fokus dari segi kretif
dan melupakan sisi hak dan kewajiban terkait hak cipta yang mestinya
juga seimbang diperhatikan.
“Musisi pencipta lagu perlu disadarkan haknya dengan memahami konsep hak cipta,” sebut perempuan yang disapa Tere ini.
Bila digambarkan, lanjut Tere, musisi pencipta lagi menghasilkan karya
lagu kemudian karya lagu digunakan oleh produser dan artis penyanyi solo
atau band tanpa memahami kontrak penggunaan lagu. Selanjutnya, karya
lagu digandakan dan ditampilkan di ruang publik oleh pengguna tanpa
memperhatikan
moral right,
mechanical right, dan
performing right dari suatu karya. Alhasil, pencipta lagu tidak dapat kompensasi ekonomi apapun.
Manfaatkan Digitalisasi
Di tengah deru internet yang kian meluas, industri kreatif terutama
musik pun berdampak. Salah satu bukti nyatanya adalah sejumlah sosial
media yang fokus berbagi konten musik seperti
last.fm hingga
soundcloud. Lalu, berjamurnya aplikasi pemutar lagu, seperti
itunes,
Joox, hingga
spotify mulai banyak digemari ketimbang koleksi fisik, seperti kaset dan cd.
Kepala Bekraf, Triawan Munaf menyatakan bahwa kehadiran aplikasi
semacam spotify justru sangat membantu para musisi dalam mendapatkan
pengasilan yang merupakan haknya. Meski lebih kecil jumlahnya, namun
pihak pemilik aplikasi pemutar musik sangat taat terhadap apa yang
menjadi kewajibannya.
“Mereka sangat membantu karena sistem mereka terus diperbaiki walaupun
revenue yang didapat semakin kecil dibandingkan dulu, tapi minimal mereka sangat memenuhi kewajiban mereka. Kalau saya lihat dari
Spotify
misalnya, mereka bukan hanya menjual lagi sebagai komoditas tetapi
mereka memberi jiwa juga. Ada story yang mereka garap juga, mereka
develop juga,” jelas Triawan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly sependapat dengan
pernyataan Triawan. Yasonna juga menilai kehadiran tekonologi menjadi
sebuah harapan sepanjang kisi-kisi aturan mengakomodir secara baik.
Terlepas dari hal itu, ia menekankan agar musisi pencipta lagu lebih
berani memperjuangkan haknya ketika ada hak yang dilanggar.
“Memang ini hak cipta, pelanggarannya delik aduan. Jadi kalau ada yang
merasa lagunya atau musiknya, atau filmnya, sudahlah lapor ke kita,
langsung kita kirim ke pak Rudi (Menteri Kominfo), langsung di *kek*
(langsung ditindak),” kata Yasonna.
Dikatakan Yasonna, hal ini juga mesti menjadi perhatian buat
masyarakat. Ia berpesan masyarakat bisa menghargai setiap karya yang di
dalamnya terhadap hak-hak si pencipta. “Kita mau sekarang kita harus
menghargai para pencipta itu. Coba lihat banyak pencipta yang masa
tuanya sakit, untuk berobat saja mereka harus urunan. Di negara maju,
mereka itu sangat sukses. Ini juga masyarakat ikut serta membantu kita
baik Bekraf ataupun Kemenkumham untuk mendidik masyarakat. Dan
law enforcement juga harus diterapkan,” tutupnya.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583857215266a/masih-digodok-format-distribusi-royalti-untuk-pemegang-hak-cipta