Senin, 31 Oktober 2016

Anang Hermansyah Mengatakan Pak Raden Adalah Pejuang Hak Cipta di Indonesia

Berita duka dari Tokoh legendaris Pak Raden yang meninggal pada Jumat (30/10/2015) malam menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Apalagi, di ujung usianya, Pak Raden masih memperjuangkan karya ciptanya Si Unyil.

Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermanysah mengatakan meninggalnya Pak Raden merupakan tokoh pejuang hak cipta di Indonesia.

“Karena di ujung usia Pak Raden, beliau masih memperjuangan intelectual property right-nya, bahwa Si Unyil adalah miliknya. Ini peristiwa yang memilukan,” kata Anang lewat pesan singkat kepada wartawan di Jakarta, Minggu (1/11/2015).

Politikus PAN yang juga musisi ini menyebutkan di akhir usia Pak Raden masih berjuang menegakkan hak ciptanya yang telah menjadi legenda bagi anak Indonesia itu.

“Pak Raden meninggal dengan memiliki keyakinan tinggi bahwa kehidupan seni di negara ini bisa menjadi harapan kehidupan dan masa depan, tapi ternyata kenyataannya tidak sesuai,” kata Anang.

Dirinya juga menjelaskan, peristiwa yang dialami Pak Radendalam memperjuangkan hak ciptanya harus menjadi peristiwa terakhir bagi seniman di Tanah Air. Menurut dia, jika peristiwa yang dialami seperti Pak Raden ini terus berulang akan berefek negatif bagi dunia seni di Tanah Air.


http://indolah.com/anang-hermansyah-mengatakan-pak-raden-adalah-pejuang-hak-cipta-di-indonesia/

Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta


2. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta
a. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Dunia Internasional
Sejarah konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh dengan jelas sejak diketemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa. Kebutuhan di bidang hak cipta timbul karena dengan mesin cetak, karya-karya cipta dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Hal inilah yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan hukum tersebut memperoleh kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati perlindungan hanyalah pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta karya cipta itu sendiri (authors) praktis tidak memperoleh perlindungan hukum yang semestinya[6]. Para filsuf Eropa yang mengkritik hal tersebut berargumentasi bahwa karya-karya cipta pada dasarnya merupakan refleksi pribadi atau alter ego dari penciptanya. Kemudian tumbuhlah konsep baru yaitu authors right yang menggantikan copyright[7].
Faktor sosial juga mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Pada tahun 1690, John Locke mengutarakan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (natural right) atas karya ciptaannya. Pandangan ini pada hakekatnya didahului dengan adanya gerakan renaissance yang menjunjung tinggi kemampuan manusia sebagai pribadi yang mandiri, yang ingin membebaskan diri dari kungkungan raja dan gereja[8].
Perlindungan yang diberikan kepada hasil ciptaan dan penciptanya, bukan saja sekedar sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap hasil karya cipta seseorang di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, tetapi juga diharapkan akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi penciptanya maupun orang lain yang memerlukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai terrhadap hasil ciptaan dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra[9]. 
Berkembangnya sudut pandang yang menganggap perlu adanya bentuk perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) memacu dilakukannya perundingan internasional yang membahas tentang perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini membuktikan bahwa permasalahan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) bukan lagi menjadi urusan suatu negara saja, akan tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), dengan dibentuknya World Trade Organization maka perlindungan terhadap HaKI semakin ketat dan penegakan hukumnya dapat dilaksanakan melalui suatu badan yang bernaung dibawah payung WTO yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body).
Upaya perlindungan hukum terhadap HaKI dapat dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin, untuk itu diperlukan suatu kerjasama antara negara-negara anggota WTO yang bersifat regional maupun internasional. Atas dasar pemikiran ini maka negara-negara yang berada dikawasan Asia Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang terdiri dari para ahli dibidang HaKI, forum ini bertujuan agar upaya perlindungan hukum terhadap HaKI sesuai dengan standar perlindungan yang ditetapkan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
b. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di IndonesiA
Secara yuridis formal, Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku sejak tanggal 23 September 1912. Meskipun pada waktu itu Indonesia telah memberlakukan Auteurswet 1912, untuk kepentingan pendidikan dibolehkan menyimpang dari aturan-aturan Auteurswet 1912 tersebut. Hal ini tampak dari adanya buku-buku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara Eropa, tanpa meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya. Penerbit Balai Pustaka merupakan suatu badan usaha milik negara. Penerjemahan yang dilakukan penerbit Balai Pustaka dilakukan dengan maksud baik, yaitu untuk memperkaya khasanah pustaka bagi bangsa Indonesia yang belum memiliki jumlah yang memadai.
Menurut Auteurswet 1912, penerjemahan tanpa izin dari penciptanya merupakan pelanggaran. Bahkan, penerjemahan dilakukan dari buku-buku yang sudah menjadi milik umum (public domain), penyebutan nama pencipta dan judul aslinya harus tetap dilakukan, mengingat masih adanya hak-hak moral (moral rights) yang melekat pada ciptaan-ciptaan yang bersangkutan[10].
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal I Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini[11].
Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1950. Upaya perlindungan ini dimulai sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Paris, yaitu perjanjian internasional dibidang hak kekayaan industri, Indonesia kemudian bergabung dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang merupakan salah satu rangkaian terakhir perundingan perdagangan multilateral.
Perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang mencakup aturan-aturan perdagangan dan pembentukan WTO, yang merupakan sebuah lembaga formal untuk administrasi dan perundingan lebih lanjut dari aturan-aturan yang telah dihasilkan. Selanjutnya Indonesia juga ikut menjadi negara peserta dalam organisasi HaKI dunia atau lebih dikenal dengan World Intellectual Property Organization (WIPO). Ketika WIPO mengadakan perundingan mengenai perjanjian internasional dalam bidang hak cipta dalam lingkungan digital, atau dikenal sebagai perjanjian internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyrights Treaty/WTC), Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi perjanjian tersebut. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI dapat dilihat pula dari penyusunan berbagai perundang-undangan dibidang HaKI.
Komitmen Indonesia terhadap mekanisme regional maupun internasional yang berkaitan dengan HaKI meliputi[12]:
1) Keanggotaan aktif di WTO, diperkuat oleh ratifikasi konvensi pembentukan WIPO pada tahun 1979;
2) Kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat mendasar mengenai hukum HaKI secara substansif yang dikelola oleh WIPO khususnya Paris Convention tentang perlindungan kekayaan industri (Konvensi Paris disahkan pertama kali pada tahun 1883). Perubahan terakhir dilakukan melalui Stockholm Act tanggal 16 Juli 1967. Indonesia menjadi pihak dalam Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Konvensi Bern memberikan perlindungan terhadap karya-karya artistik, Konvensi Bern disahkan pertama kali pada tahun 1886, perubahan terakhir dilakukan melalui Paris Act tanggal 24 Juli 1971. Indonesia menjadi pihak dalam Paris Act sejak 5 September 1997 dan Traktat Hak Cipta WIPO (WTC) Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi WTC tanggal 5 September 1997;
3) Kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diselenggarakan oleh WIPO yang bersifat teknis dan administratif, meliputi:
  • Traktat Kerjasama Paten (PTC) diratifikasi pada tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Merek (TLT) diratifikasi tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Paten (Indonesia mengambil bagian dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi naskah traktat ini tanggal 1 Juni 2000
  • Perjanjian Den Haag tentang Penyimpanan Desain Industri Secara Internasional (Indonesia telah meratifikasi London Act 1934 tanggal 24 Desember 1950, tetapi belum meratifikasi perubahannya);
4) Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia kerja mengenai berbagai aspek hukum HaKI internasional, dan konsultasi mengenai isu-isu yang baru muncul, misalnya perdagangan elektronik, pengetahuan tradisional dan perlindungan database, dan di dalam kegiatan-kegiatan kerjasama WIPO secara teknis baik ditingkat nasional, regional maupun internasional;
5) Keikutsertaan dalam kegiatan kerjasama regional, misalnya:
  • Perjanjian kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama dibidang HaKI, yang diputuskan di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995
  • Kelompok Ahli Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik tentang HaKI (IPEG)
  • Deklarasi politik yang dibuat bersama misalnya Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995.
  • Pernyataan bersama APEC mengenai pelaksanaan WTO/Perjanjian TRIPs, yang dikeluarkan di Darwin pada tanggal 6-7 Juni 2000.
6) Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan terkait dengan sistem HaKI, misalnya:
  • Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1994.
  • Deklarasi HAM se-Dunia (Pasal 27 ayat 7 Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak terhadap perlindungan secara moral dan material atas karya-karya baik keilmuan, sastra, maupun sastra yang diciptakan).
http://pengertiandanartikel.blogspot.co.id/2016/10/sejarah-pengaturan-hukum-hak-cipta.html

Tips Untuk Menghindari Pelanggaran Hak Cipta Di Video YouTube Kita

Hallo Sobat Kali Ini saya mau buat Tips Untuk agan sekalian untuk menghindari Pelanggaran Hak Cipta Di Video (Copyright) Untuk Membuat Suatu Video YouTube Sering Kali masalah yang di jumpa adalah content video yang Ada Hak Cipta Nya .Pasti Teman Teman Sekalian Jika Video Kamu Kena Hak Claim Hak Cipta Pasti Teman-Teman pasti merasa menyebalkan karena itu adalah kebijakan adil dari YouTube Untuk melindungi sebuh Karya Seseorang . gak panjang cerita langsung aja deh saya kasih Tips Untuk Menghindari Nya :

1.Buatlah Video Original  

Kenap Harus Buat Video Original ? Karena ini adalah cari yang sangat sportif dan di situlah karya seseorang datangnya.Dan Pihak YouTube Sangat Menyarankan untuk membuat video dengan Original ( Karya Kita Sendiri ) Untuk Menghindari Pelanggaran Claim Content Video Pihak Ketiga.Pada Dasarnya Sih Kamu Bisa Membuat Video Asli Karya Mu Sendiri Dengan Kejadian Lucu Atau Membuat Rekaman Lagu Sendiri Membuat Short Movie dimana hasil karya mu karena jika kamu sabar dalam membuat nya pasti akan mendapat hasil yang bagus dan akan mendapatkan keuntungan besar untuk mu . 

2.Edit Video Dengan Bantuan Sofware

  • menambahkan klip video
  • memperpendek atau memperpanjang video
  • menambahkan efek baru pada video
  • mengubah suara video
  • memperlambat atau mempercepat video
  • menambahkan musik
Untuk Mendapatkan Sofware Untuk Pengeditan Video Di Banyak sih sebenaryna seperti vegas,Adobe After , Dan banyak bisa cari google .dan jika kamu belum bisa untuk pengeditan nya bisa kamu cari cara cara pengeditan nya di google :)

3.Gunakan Audio Pengeditan Yang Telah Di Sediakan YouTube 

Karena YouTube Telah Membuat Pengeditan Yang Telah Di Sediakan Nya 
Seperti Pengubahan Audio Dan Penambahan Lagu Di Video Kamu Dan Juga Tidak Di pungut biaya
dan juga pengeditan drag di video kamu dan timeline

Tips Untuk Menghindari Pelanggarang Hak Cipta Di Video YouTube Kita 
Semoga Artikel Yang Saya Berikan Kepada Agan Agan Sekalian Bermanfaat

Minggu, 23 Oktober 2016

Pemahaman UU Hak Cipta masih Rendah

PEMAHAMAN terhadap Undang Undang No 28/2014 tentang Hak Cipta dinilai masih rendah. Padahal dalam aturan itu, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi terkait karya-karya terkait dengan hak cipta. UU ini belum dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal ini karena belum dipahami kerugian-kerugian atas pelanggaran terhadap peraturan undang-undang tersebut.

Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R) Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.

“Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ” kata Yusak.

Pemberlakuan UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dilengkapi peraturan perundangan lain, melahirkan lembaga, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).

Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual.

“Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.

Namun, yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha agar berbagai peraturan dan perundangan bisa paham dan dilaksanakan dengan baik.

“Sosialisasi jadi penting, seiring pemberlakuan UUHC agar dipahami masyarakat dan pelaku usaha, juga mereka tahu di mana dan kemana mengurus perizinan, membayar pajak, serta melaksanakan berbagai kewajiban lainnya,” ujarnya.

http://mediaindonesia.com/news/read/70796/pemahaman-uu-hak-cipta-masih-rendah/2016-10-07

Lagi, Hak Cipta Buku Indonesia Dibeli Penerbit Inggris

Frankfurt Book Fair membuka mata dunia akan potensi kekayaan intelektual penulis Indonesia. Setelah novel Gadis Kretek, Inggris kembali membeli hak cipta buku cerita anak Indonesia.

"Yang membeli KUBE Publishing UK," kata Ketua Koordinator International Fair Komisi Buku Nasional (KBN) Sari Meutia di lokasi pameran, Jumat (21/10/2016).

Buku yang dimaksud adalah buku 'Halo Balita' dan 'Aku Bilang' Yaitu buku seri karakter building anak-anak dalam wajah yang Islami. Buku ini disertai dengan ilustrasi gambar dan warna yang menarik.

Sebelumnya, MonsoonBooks UK membeli hak cipta 'Gadis Kretek' yang berkisah tentang perusahaan pabrik kretek Djagad Raja di tahun 1960-an. Kisah dimulai saat pemilik perusahaan, Soeraja sedang sekarat. Dalam menanti ajalnya, ia mengigaukan sebuah nama wanita "Jeng Yah". Nama itu mengagetkan seluruh keluarga karena nama wanita yang seharusnya tak lagi boleh diucapkan dari mulut Soeraja karena ia telah memiliki 3 anak dewasa. Nama itu membuat satu kaluarga mencari guna menyelamatkan perusahaan rokok terbesar di Indonesia kala itu.

"Kalau Eropa memang tertarik dengan buku-buku yang bercerita keragaman dan pluralitas. Mereka melihat Indonesia sebagai negara Islam besar tapi tetap toleran," kata agensi yang dibawa Komisi Buku Nasional (KBN) Nung Atasana.

Hingga pagi ini, belasan judul buku terus dijajaki untuk transaksi hak cipta mencakup tema anak dan sastra. Penerbit yang tertarik berasal dari Amerika Serikat, Inggris, India, dan Pakistan. Mereka sudah meminta versi pdf untuk sejumlah judul, antara lain Seri Survival for Kids (Bumi Aksara), Aceh Kaffee (Cendana Art Media), Didgit Cobbleheart (Lily & Eddy), Monsoon Tiger and Other Stories (Kepustakaan Populer Gramedia), dan Enjah (Beng Rahardian-Tomas Soejakto).

"Tema persahabatan dengan latar belakang keragaman sangat diminati orang Eropa," ucap Nung.

http://hot.detik.com/book/3326788/lagi-hak-cipta-buku-indonesia-dibeli-penerbit-inggris

Hak Cipta Bagian Kekayaan Intelektual

Pada beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan kejahatan properti berupa tindak perampasan barang-barang material secara tidak sah atau yang dikenal sebagai kekayaan intelektual.

"Kekayaan intelektual mengacu pada properti, yaitu mengambil bentuk ide, ekspresi, tanda-tanda, simbol, desain, serta logo. Pada hak kekayaan intelektual memberikan sang pemilik melakukan pengendalian secara eksklusif atas penggunaan ide-ide dan ekspresinya," ujar Direktur Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, M. Fadil Imran, dalam acara Sosialisasi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Jakarta, Kamis (6/10).

Dia menjelaskan penggunaan tidak sah hasil kekayaan intelektual didefinisikan sebagai kejahatan yang diatur dan disanksi berdasarkan hukum pidana. Kejahatan tersebut berupa menyalin dan distribusi materi berhak cipta, seperti rekaman musik, perangkat lunak komputer dan film yang dikenal sebagai pembajakan (piracy).

"Penggunaan merek, logo dan simbol dalam barang palsu, mulai dari kosmetik, parfum untuk pakaian, aksesoris pribadi, termasuk penggunaan dari rumus, pengetahuan teknis dan proses produksi yang dilindungi hak paten," tandasnya.

Dasar penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta; Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014; Kepmenkumham Nomor HKI.20-T.03.01-04 Tahun 2015; Kepmenkumham Nomor M.HH-01.HI.01.08 Tahun 2015; serta Kepmenkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-01 Tahun 2016.

Berbekal seperangkat peraturan dan UU tersebut, katanya, sudah cukup bagi jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak kekayaan intelektual.

"Kerugian akibat belum dipahami dan tegak hukum UUHC dipastikan merugikan banyak pihak, termasuk penerima royalty maupun pendapatan negara melalui sektor pajak," tukasnya.

Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R), Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.

"Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak," kata Yusak.

Pemberlakuan UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dilengkapi peraturan perundangan lain, melahirkan lembaga seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).

Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual.

Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.

Namun, yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha agar berbagai peraturan dan perundangan bisa paham dan dilaksanakan dengan baik.

"Sosialisasi jadi penting, seiring pemberlakuan  UUHC agar dipahami masyarakat dan pelaku usaha, juga mereka tahu di mana dan kemana mengurus perizinan, membayar pajak, serta melaksanakan berbagai kewajiban lainnya," tukasnya.
 
http://hukum.rmol.co/read/2016/10/07/263538/Hak-Cipta-Bagian-Kekayaan-Intelektual-

Undang Undang Hak Cipta Kurang Tersosialisasikan

Pada beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan kejahatan properti dalam bentuk lain atau yang dikenal sebagai kekayaan intelektual. Penggunaan tidak sah hasil kekayaan intelektual didefinisikan sebagai kejahatan yang diatur dan disanksi berdasarkan hukum pidana. Kejahatan tersebut berupa menyalin dan distribusi materi berhak cipta, seperti rekaman musik, perangkat lunak komputer dan film yang dikenal sebagai pembajakan (piracy).

“Kekayaan intelektual mengacu pada properti, yaitu mengambil bentuk ide, ekspresi, tanda-tanda, simbol, desain, serta logo, ” ujar Direktur Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, M Fadil Imran, dalam acara Sosialisasi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Jakarta, Kamis (6/10).

Pada pelaksanaan UU no 28 tahun 2014 tentang hak cipta, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi terkait karya-karya terkait dengan hak cipta. UU ini belum dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal ini karena belum dipahami kerugian-kerugian atas pelanggaran terhadap peraturan undang-undang tersebut.

Dasar penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta; Permenkumham No. 29 Tahun 2014; Kepmenkumham No. HKI.20-T.03.01-04 Tahun 2015; Kepmenkumham No. M.HH-01.HI.01.08 Tahun 2015; serta Kepmenkumham No. HKI.2.OT.03.01-01 Tahun 2016. “Berbekal seperangkat peraturan dan UU tersebut, sudah cukup bagi jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak kekayaan intelektual," ujarnya.

Belum dipahaminya dan ditegakannya aturan UUHC dipastikan akan membuat terjadinya pelanggaran hukum yang merugikan para penerima royalti dan pendapatan negara melalui sektor pajak. “Kerugian akibat belum dipahami dan tegak hukum UUHC dipastikan merugikan banyak pihak, termasuk penerima royalti maupun pendapatan negara melalui sektor pajak, ” katanya.  

Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R), Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin, perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.

“Hal tersebut bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ” kata Yusak. 

Pemberlakuan UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya dilengkapi peraturan perundangan lain yang melahirkan lembaga seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R).

Seiring pemberlakuan UU tersebut dan belum dipandang serta diterapkan secara baik. Sehingga, belum bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai salah satu bentuk dari kekayaan intelektual. “Persoalan ini mengajak semua pihak mengawasi agar peraturan dan perundangan bisa menjadi pelindung bagi hak cipta sebagai bentuk kekayaan intelektual,” katanya.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/10/06/oemgf9291-undang-undang-hak-cipta-kurang-tersosialisasikan

Kamis, 06 Oktober 2016

Polda Metro Sosialisasi UU Hak Cipta Sebagai Bagian Kekayaan Intelektual

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya melakukan sosialisasi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pengurusan Lisensi Lagu dan Musik Dalam Usaha Karaoke. Acara yang digelar di Balai Pertemuan Metro Jaya ini bertujuan agar masyarakat paham akan perkembangan hukum yang terjadi.

Era globalisasi ini bentuk kejahatan bukan hanya konvensional berupa tindak perampasan barang-barang material. Namun, pada dekade terakhir, terjadi peningkatan kejahatan properti dalam bentuk lain yakni yang dikenal sebagai kekayaan intelektual.

“Kekayaan intelektual mengacu pada properti, yaitu mengambil bentuk ide, ekspresi, tanda-tanda, simbol, desain, serta logo,” ujar Direktur Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, M. Fadil Imran, dalam acara Sosialisasi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Jakarta, Kamis (6/10).

Pada hak milik properti, kata Fadil, dikategorikan dalam berbagai hak yang khas. Seperti hak cipta, merek dagang, paten, desain industri, serta rahasia dagang.

“Pada hak kekayaan intelektual memberikan sang pemilik melakukan pengendalian secara eksklusif atas penggunaan ide-ide dan ekspresinya,” ucap Fadil.

Penggunaan tidak sah hasil kekayaan intelektual didefinisikan sebagai kejahatan yang diatur dan mendapat sanksi berdasarkan hukum pidana. Kejahatan itu berupa menyalin dan distribusi materi berhak cipta. Seperti rekaman musik, perangkat lunak komputer dan film yang dikenal sebagai pembajakan (piracy).

“Penggunaan merek, logo dan simbol dalam barang palsu, mulai dari kosmetik, parfum untuk pakaian, aksesoris pribadi, termasuk penggunaan dari rumus, pengetahuan teknis dan proses produksi yang dilindungi hak paten,” tandas Fadil.

Dasar penegakan hukum atas hak kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Permenkumham No. 29 Tahun 2014; Kepmenkumham No. HKI.20-T.03.01-04 Tahun 2015; Kepmenkumham No. M.HH-01.HI.01.08 Tahun 2015; serta Kepmenkumham No. HKI.2.OT.03.01-01 Tahun 2016.

“Berbekal seperangkat peraturan dan UU tersebut, sudah cukup bagi jajaran kepolisian untuk melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak kekayaan intelektual,” ujarnya.

Belum dipahami dan tegaknya aturan UUHC dipastikan akan terjadi pelanggaran hukum yang merugikan para penerima royalti. Bahkan negara tidak mendapat melalui sektor pajak.

“Kerugian akibat belum dipahami dan tegak hukum UUHC dipastikan merugikan banyak pihak, termasuk penerima royalty maupun pendapatan negara melalui sektor pajak,” katanya.

Sementara, Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R), Yusak Warner mengatakan, pihak yang turut dirugikan termasuk pencipta atau pemegang izin serta perkembangan seni dan sastra, karena pencipta tidak bergairah meningkatkan hasil karyanya.

“Hal itu bisa disebabkan ada persepsi salah terhadap peraturan. Dampaknya tak sedikit menganggap sebagai beban dan merugikan usaha. Namun, jika ditelaah lebih jauh regulasi yang ada, justru mencerminkan rasa saling menghargai dan jaminan perlindungan bagi banyak pihak, ” kata Yusak.

http://www.gatra.com/hukum/220403-polda-metro-sosialisasi-uu-hak-cipta-sebagai-bagian-kekayaan-intelektual

Apple Dituntut Rp3,92 Triliun karena Hak Paten Salah Satu Fiturnya

Salah satu fitur unggulan Apple pada perangkat iOS dan Macintosh yang ada sekarang adalah FaceTime. Ini merupakan fitur panggilan video pada umumnya, dimana Apple lebih menawarkan jaminan kemanan pada saat berkomunikasi.

Akan tetapi dibalik fitur keamanan tersebut Apple harus berurusan dengan hukum, karena perusahaan komunikasi VirnetX asal Negeri Paman Sam ini mengugat Apple ke pengadilan, hal ini seperti dilansir dari The Verge, Senin (3/10/2016). VirnetX Holding Corp menuntut Apple atas hak paten yang terdapat pada aplikasi FaceTime. Dalam hal ini bukan aplikasinya, namun paten keamanan yang terdapat pada aplikasi tersebut yang menjadi masalah.

Terkait hal ini pihak VirnetX telah melayangkan gugatan ke pengadilan di Amerika Serikat, di Washington DC. Dalam gugatan juga disebutkan kalau VirnetX menuntut Apple untuk membayar sekitar USD302,4 juta atau sekitar Rp3,92 triliun. VirnetX sendiri merupakan perusahaan teknologi dan komunikasi yang didirikan oleh sekelompok karyawan yang berasal dari Science Applications International Corp (SAIC).

Perusahaan ini mengembangkan teknologi keamanan untuk agen-agen federal di Amerika Serikat. Selain itu perusahaan ini juga pernah berhadapan dengan perusahaan ternama seperti Microsoft an Cisco, yang berakhir juga di meja hijau.

Perseteruan dengan Apple bukanlah yang pertama, karena sebelumnya pada 2010 VernetX mengugat Apple atas empat hak paten. Kasus dimenangkan oleh VernetX dan Apple akhirnya membayar USD368,2 juta atau berkisar Rp4,8 triliun Rupiah. Lalu Apple harus berhadapan lagi dengan VirnetX pada Juli lalu, terkait paten pada aplikasi iMessage dan menuntut Apple dengan USD625,6 juta, tapi hakim masih mempertimbangkan kasus tersebut. Bagimana dengan gugatan yang baru, kita tunggu perkembangannya.

http://autotekno.sindonews.com/read/1144186/122/apple-dituntut-rp3-92-triliun-karena-hak-paten-salah-satu-fiturnya-1475484393