2. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta
a. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Dunia Internasional
Sejarah konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh dengan
jelas sejak diketemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa.
Kebutuhan di bidang hak cipta timbul karena dengan mesin cetak,
karya-karya cipta dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Hal inilah
yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan hukum tersebut memperoleh
kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati perlindungan hanyalah
pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta karya cipta itu
sendiri (authors) praktis tidak memperoleh perlindungan hukum yang
semestinya[6]. Para filsuf Eropa yang mengkritik hal tersebut
berargumentasi bahwa karya-karya cipta pada dasarnya merupakan refleksi
pribadi atau alter ego dari penciptanya. Kemudian tumbuhlah konsep baru
yaitu authors right yang menggantikan copyright[7].
Faktor sosial juga mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas
karya tulis para pengarang dan penulis. Pada tahun 1690, John Locke
mengutarakan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bahwa
pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (natural right) atas karya
ciptaannya. Pandangan ini pada hakekatnya didahului dengan adanya
gerakan renaissance yang menjunjung tinggi kemampuan manusia sebagai
pribadi yang mandiri, yang ingin membebaskan diri dari kungkungan raja
dan gereja[8].
Perlindungan yang diberikan kepada hasil ciptaan dan penciptanya, bukan
saja sekedar sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap hasil karya
cipta seseorang di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, tetapi juga
diharapkan akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar
untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu pengetahuan, seni dan
satra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir,
tetapi juga merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah,
baik bagi penciptanya maupun orang lain yang memerlukannya. Oleh karena
itu, dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai terrhadap hasil ciptaan
dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra[9].
Berkembangnya sudut pandang yang menganggap perlu adanya bentuk
perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property Rights) memacu dilakukannya perundingan internasional yang
membahas tentang perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual. Hal
ini membuktikan bahwa permasalahan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
bukan lagi menjadi urusan suatu negara saja, akan tetapi sudah menjadi
urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak ditandatanganinya
Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), dengan
dibentuknya World Trade Organization maka perlindungan terhadap HaKI
semakin ketat dan penegakan hukumnya dapat dilaksanakan melalui suatu
badan yang bernaung dibawah payung WTO yang dinamakan Badan Penyelesaian
Sengketa (Dispute Settlement Body).
Upaya perlindungan hukum terhadap HaKI dapat dilaksanakan seefisien dan
seefektif mungkin, untuk itu diperlukan suatu kerjasama antara
negara-negara anggota WTO yang bersifat regional maupun internasional.
Atas dasar pemikiran ini maka negara-negara yang berada dikawasan Asia
Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang terdiri dari para ahli
dibidang HaKI, forum ini bertujuan agar upaya perlindungan hukum
terhadap HaKI sesuai dengan standar perlindungan yang ditetapkan dalam
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs).
b. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di IndonesiA
Secara yuridis formal, Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta
pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23
September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku sejak
tanggal 23 September 1912. Meskipun pada waktu itu Indonesia telah
memberlakukan Auteurswet 1912, untuk kepentingan pendidikan dibolehkan
menyimpang dari aturan-aturan Auteurswet 1912 tersebut. Hal ini tampak
dari adanya buku-buku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku
yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara Eropa, tanpa
meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya.
Penerbit Balai Pustaka merupakan suatu badan usaha milik negara.
Penerjemahan yang dilakukan penerbit Balai Pustaka dilakukan dengan
maksud baik, yaitu untuk memperkaya khasanah pustaka bagi bangsa
Indonesia yang belum memiliki jumlah yang memadai.
Menurut Auteurswet 1912, penerjemahan tanpa izin dari penciptanya
merupakan pelanggaran. Bahkan, penerjemahan dilakukan dari buku-buku
yang sudah menjadi milik umum (public domain), penyebutan nama pencipta
dan judul aslinya harus tetap dilakukan, mengingat masih adanya hak-hak
moral (moral rights) yang melekat pada ciptaan-ciptaan yang
bersangkutan[10].
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini masih
dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam
Pasal I Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini[11].
Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI
sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1950. Upaya perlindungan ini
dimulai sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Paris, yaitu perjanjian
internasional dibidang hak kekayaan industri, Indonesia kemudian
bergabung dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang merupakan salah satu
rangkaian terakhir perundingan perdagangan multilateral.
Perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang
mencakup aturan-aturan perdagangan dan pembentukan WTO, yang merupakan
sebuah lembaga formal untuk administrasi dan perundingan lebih lanjut
dari aturan-aturan yang telah dihasilkan. Selanjutnya Indonesia juga
ikut menjadi negara peserta dalam organisasi HaKI dunia atau lebih
dikenal dengan World Intellectual Property Organization (WIPO). Ketika
WIPO mengadakan perundingan mengenai perjanjian internasional dalam
bidang hak cipta dalam lingkungan digital, atau dikenal sebagai
perjanjian internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyrights Treaty/WTC),
Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi perjanjian
tersebut. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan
terhadap HaKI dapat dilihat pula dari penyusunan berbagai
perundang-undangan dibidang HaKI.
Komitmen Indonesia terhadap mekanisme regional maupun internasional yang berkaitan dengan HaKI meliputi[12]:
1) Keanggotaan aktif di WTO, diperkuat oleh ratifikasi konvensi pembentukan WIPO pada tahun 1979;
2) Kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat
mendasar mengenai hukum HaKI secara substansif yang dikelola oleh WIPO
khususnya Paris Convention tentang perlindungan kekayaan industri
(Konvensi Paris disahkan pertama kali pada tahun 1883). Perubahan
terakhir dilakukan melalui Stockholm Act tanggal 16 Juli 1967. Indonesia
menjadi pihak dalam Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Konvensi Bern
memberikan perlindungan terhadap karya-karya artistik, Konvensi Bern
disahkan pertama kali pada tahun 1886, perubahan terakhir dilakukan
melalui Paris Act tanggal 24 Juli 1971. Indonesia menjadi pihak dalam
Paris Act sejak 5 September 1997 dan Traktat Hak Cipta WIPO (WTC)
Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi WTC tanggal 5
September 1997;
3) Kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diselenggarakan oleh WIPO yang bersifat teknis dan administratif, meliputi:
- Traktat Kerjasama Paten (PTC) diratifikasi pada tanggal 5 September 1997
- Traktat Hukum Merek (TLT) diratifikasi tanggal 5 September 1997
- Traktat Hukum Paten (Indonesia mengambil bagian dalam konferensi
diplomatik yang mengadopsi naskah traktat ini tanggal 1 Juni 2000
- Perjanjian Den Haag tentang Penyimpanan Desain Industri Secara
Internasional (Indonesia telah meratifikasi London Act 1934 tanggal 24
Desember 1950, tetapi belum meratifikasi perubahannya);
4) Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia
kerja mengenai berbagai aspek hukum HaKI internasional, dan konsultasi
mengenai isu-isu yang baru muncul, misalnya perdagangan elektronik,
pengetahuan tradisional dan perlindungan database, dan di dalam
kegiatan-kegiatan kerjasama WIPO secara teknis baik ditingkat nasional,
regional maupun internasional;
5) Keikutsertaan dalam kegiatan kerjasama regional, misalnya:
- Perjanjian kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama dibidang HaKI, yang diputuskan di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995
- Kelompok Ahli Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik tentang HaKI (IPEG)
- Deklarasi politik yang dibuat bersama misalnya Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995.
- Pernyataan bersama APEC mengenai pelaksanaan WTO/Perjanjian TRIPs, yang dikeluarkan di Darwin pada tanggal 6-7 Juni 2000.
6) Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan terkait dengan sistem HaKI, misalnya:
- Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1994.
- Deklarasi HAM se-Dunia (Pasal 27 ayat 7 Deklarasi ini menyatakan
bahwa setiap orang mempunyai hak terhadap perlindungan secara moral dan
material atas karya-karya baik keilmuan, sastra, maupun sastra yang
diciptakan).
http://pengertiandanartikel.blogspot.co.id/2016/10/sejarah-pengaturan-hukum-hak-cipta.html